Selasa, 05 Januari 2010

Teori Belajar

Teori Belajar
Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang belajar maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Yang sering ditetapkan untuk menerangkan proses belajar ialah (a) Behaviorisme, (b) Kognitivisme, (c) Teori belajar Gagne.


a. Behaviorisme

Menurut teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian di dalam lingkungan, yang akan memberikan pengalaman tertentu kepadanya. Belajar di sini merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap yang datang dari luar.

Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur. Pertama ialah unsur dorongan atau drive. Siswa merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini. Kedua ialah rangsangan atau stimulus. Kepada siswa diberikan stimulus yang selanjutnya akan dapat menyebabkannya memberikan respons. Unsur ketiga ialah respons. Siswa memberikan suatu reaksi (respons) terhadap stimulus yang diterimanya, dengan jalan melakukan suatu tindakan yang dapat terlihat. Keempat adalah unsur pengauatan atau reinforcement, yang perlu diberikan kepada siswa agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.

Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat yaitu, tingkah laku, serta tidak memparhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat. Oleh karena itu tidak dianggap ilmiah (Leahey & Harris, 1985). Dengan demikian proses belajar menurut Behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri siswa yang belajar (Galloway, 1976).



Hubungan langsung

S ------------------------------------------ R



Stimulus yang dapat dilihat

Respons yang dapat dilihat







------------penyebab ---------------



(Sumber: Charles Galloway, 1976. Psychology for learning and teaching. New York; McGraw-Hill Book Co. h. 81)



Beberapa macam teori behaviorisme yang terkenal adalah :

1) Kondisioning klasik (Pavlov) .

Teori ini didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.



Respons tidak terkontrol

Stimulus tidak terkontrol









(US) (US)

Stimulus tidak terkondisi (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respons dalam bentuk refleks (UR). Di sini respons dapat terbentuk tanpa adanya proses belajar.

Kalau bersama-sama (biasanya beberapa detik sebelumnya) dengan stimulus tanpa kondisi (US) diberikan suatu stimulus lain yang netral maka secara bersama kedua stimulus tersebut akan menghilangkan respons yang merupakan refleks (UP) itu tadi, dan akan timbul respons baru yang diharapkan (CR), Stimulus netral yang diberikan bersama stimulus pertama ini disebut stimulus terkondisi (CS). Dengan terbentuknya respons terkondisi (OR) yang memang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa akhirnya seseorang telah belajar.



US --------------------------------- UR

US --------------------------------- UR CR

US --------------------------------- UR CR

US --------------------------------- CR

CS --------------------------------- CR



Pembentukan respon terkondisi (CR) pada umumnya bersifat gradual. Makin banyak diberikan CS bersama-sama dengan US, makin, mantaplah CR yang terbentuk, sampai pada suatu ketika tanpa adanya US ini pun akan terbentuk CR yang diharapkan. Apabila pemberian CS tanpa adanya US ini diteruskan maka makin lama kadar CR yang terbentuk makin menurun dan akibatnya akhirnya dapat hilang sama sekali. Proses ini disebut extinction atau proses hilangnya respons yang diharapkan.

Apabila diberikan US lagi maka respons CR yang telah hilang tadi dapat muncul kembali (spontaneous recovery) di dalam waktu yang lebih singkat.

Di samping gejala-gejala tersebut di atas di dalam kondisioning klasik dikenal juga generalisasi stimulus yaitu kecenderungan untuk memberikan respons terkondisi terhadap stimuli yang serupa dengan CS, meskipun stimuli tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan US. Makin banyak persamaan stimuli baru dengan CS yang pertama makin besar generalisasi.

Sebaliknya dikenal juga apa yang disebut dengan diskriminasi stimuli, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan suatu US lain (Morgan et al., 1986).



b. Kognitivisme

Tidak seperti model behaviorisms yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S-R yang bersifat superfisial kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut dengan model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Belajar itu sendiri menurut teori ini adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlibat sebagai tingkah laku. Teori ini menekankan juga pada gagasan bahwa belajar bagian-bagian suatu situasi saling dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah adalah sama dengan kehilangan sesuatu (Really & Lewis, 1983).

Menurut Galloway (1976) belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Proses belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran, seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.





Menyebabkan Menyebabkan

S ------------------------- --------------------------- R



Adanya adanya

stimulus yang dapat perubahan respons yang dapat

dilihat internal dalam dilihat

individu



Beberapa teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme seringkali dipakai di dalam proses belajar-mengajar adalah:

1) Teori Perkembangan Piaget

Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976).

Pada waktu seseorang tumbuh menjadi dewasa ia akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya apabila struktur kognitifnya yang harga disesuaikan dengan informasi yang diterima maka hal ini disebut akomodasi. Jadi asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif, atau sesuatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Adaptasi akan terjadi apabila telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif. Tugas guru dalam proses belajar-mengajar adalah menyajikan materi yang dipelajari siswa sedemikian menyebabkan adanya ketidak seimbangan kognitif pada diri siswa. Dengan demikian ia akan berusaha untuk mengadaptasi informasi baru ke struktur kognitif yang telah ada (Worell & Stilwell, 1981).

Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti, pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Di sini terdapat empat macam jenjang, mulai jenjang psikomotorik (0-2 tahun) yang bersifat eksternal, preoperasional (2-6 tahun), operasional konkrit (6/7 - 11/12) dan jenjang formal (11/12-18 tahun) yang bersifat internal. Jadi mahasiswa yang pada umumnya telah berumur 17 - 18 tahun ke atas dengan demikian diharapkan telah mencapai jenjang kognitif formal sehingga mereka mampu untuk berpikir abstrak atau mengadakan penalaran.

Worell & Stilwel juga menunjuk kelemahan-kelemahan pada teori yang diajukan Piaget ini, yaitu:

a) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ketrampilan-ketrampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan jenjang-jenjang di teori Piaget;

b) Sebaliknya, hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak mencapai tahap operasi formal tanpa adanya manipulasi hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pemberian model, dan semacam itu.

c) Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan bukan berdasarkan tahap umur.



2) Teori Kognitif Bruner

Dalam membahas perkembangan kognitif, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Kalau Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif menyebabkan perkembangan bahwa seseorang, sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgard & Bower, 1981).

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika. Komunikasi di lakukan dengan pertolongan simbol. Makin dewasa seseorang, makin dominan sistem simbolnya, meskipun ia tidak berarti bahwa orang dewasa tidak lagi memakai sistem ikonik atau enaktif. (Contoh; di dalam proses belajar banyak dipakai media pengajaran untuk memperlancar proses belajar, yang kesemuanya memakai sistem ikonik dan enaktif).

Menurut Bruner (Worell & Stilwell, 1931) untuk mengajar sesuatu tidak perlu ditunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan yang diberikan diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun belum memadai. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner ini di dunia pendidikan disebut kurikulum spiral, di mana suatu subjek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi dengan menjajikan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran berbeda. Materi ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka yang belajar (misalnya pengajaran fisika dari SD sampai di PT).

Gage & Berliner (1979) menyimpulkan beberapa prinsip Bruner, yaitu:

a) makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidak tergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan;

b) pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar perlu diolah secara mental.

c) perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol;

d) untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi antara pengajar dan yang diajar;

e) perkembangan kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan beberapa alternatif secara serempak, memberikan perhatian kepada beberapa stimuli dan situasi sekaligus, serta melakukan kegiatan-kegiatan.

0 komentar:

 
Design by Fauzan Ihsan Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons