Selasa, 21 Mei 2013

Spiritualitas dalam Pendidikan Karakter



Pada artikel sebelumnya, Blog Pendidikan Karakter telah menurunkan tulisan tentang langkah-langkah penerapan pendidikan karakter. Di antara langkah tersebut adalah merumuskan karakter yang akan dibangun kemudian mempromosikannya. 


Perumusan karakter ini perlu ditopang oleh landasan konseptual yang kokoh tentang pembentukan karakter. Artikel ini menyuguhkan kepada Anda kajian tentang bagaimana kedudukan spiritualitas dalam wacana pendidikan karakter yang kian ramai dibicarakan. 

Terdapat dua madzhab dalam merumuskan dasar-dasar moral, yaitu madzhab absolutisme dan relativisme. Perdebatan tentang dua madzhab ini misalnya dipetakan oleh Glynn Phillips dalam Should Moral Educators Abandon Moral Relativism?. Dalam tulisannya ini Phillips mencoba mendiskusikan nilai-nilai moral manakah yang harus dijadikan rujukan pendidikan karakter.  Perdebatan Absolutisme dan Relativisme ini juga berkaitan dengan pemikiran etika Al-Ghazali. M. Amin Abdullah dalam The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant, mengkaji pemikiran Ghazali dan Kant perihal etika rasional dan etika agama, apakah termasuk absolutisme atau relativisme. Berkaitan dengan absolutisme etika yang mendukung pendidikan karakter dengan Asmâ Allâh Al-Husnâ seperti akan dijelaskan kemudian, Al-Ghazali berpandangan bahwa absolutisme etika harus dibangun dan bersumber dari etika-etika agama.

Secara umum  relativisme didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Penganut paham ini berkeyakinan bahwa moralitas bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan menolak bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih. Relativisme etika berpandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal. Kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap budaya atau pilihan individu.  Pemikiran tentang dasar pembentukan moral yang seperti ini menurut Marvin Berkowitz  cenderung memberikan penolakan terhadap penanaman dasar-dasar moralitas yang baik kepada pihak lain.

Shomali kemudian membagi relativisme ini ke dalam dua, yaitu relativisme individual dan sosial. Relativisme individual mengajukan teori bahwa setiap individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Namun demikian karena pengalaman kultural yang sama, kaidah moral kebanyakan individu pada suatu masyarakat pada praktiknya terlihat sama. Sedangkan relativisme sosial berpandangan bahwa masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Teorinya adalah kebenaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat.  Berdasarkan teori ini, moralitas dapat diartikan juga sebagai peristiwa yang secara sosial disetujui masyarakat. Ini juga menyiratkan bahwa tidak ada kaidah moral yang berlaku universal, sehingga apa yang secara moral di pandang baik dalam sebuah masyarakat ditentukan oleh keyakinan masyarakat yang telah melembaga. Ada pun masyarakat lain dengan corak kultural yang berbeda sangat mungkin menganut pandangan yang berbeda tentang moralitas. Sebagai contoh, aborsi mungkin saja benar pada masyarkat A dan salah pada masyarakat B.

Lawan dari relativisme etika adalah absolutisme yang meyakini adanya kebenaran universal. Paham ini menegaskan bahwa hanya ada satu kebenaran moral yang universal. Karenanya paham ini disebut juga universalisme.  Menurut Wong seperti dikutip Shomali, absolutisme atau universalisme bukan hanya meyakini adanya kebenaran mutlak yang universal, tetapi juga berpandangan bahwa kaidah atau kewajiban moral benar-benar mengikat, tanpa kecuali.  Cita-cita moral yang benar harus mampu mencakup semua nilai dan ukuran moral yang lain dan menempatknnya secara hierarki, sebab ia harus mampu menjelaskan tujuan atau nilai yang dituju di atas setiap perbuatan. Dalam penelitiannya tentang relativisme etika, Shomali menemukan fakta adanya prinsip-prinsip umum yang diterima sebagian besar manusia, atau oleh seluruh masyarakat dengan peradaban yang khas.

Absolutisme moral menghendaki adanya sebuah sumber moral yang menjadi unsur evaluatif atau normatif sebuah perilaku moral. Sumber moral ini pada akhirnya akan menjadi kebaikan yang ideal atau yang tertinggi. Kebaikan ideal ini lah yang diusulkan sebagai core values pembentukan karakter, seperti kebahagiaan, ketulusan, saling mencintai,kerja sama, keadilan, perdamaian dan harga diri.  Marvin Berkowitz, seorang pakar pendidikan karakter dari Amerika menginformasikan bahwa kebanyakan pendidikan karakter dilaksanakan sejalan dengan pemikiran absolutisme ini.  Pendidikan karakter dilaksanakan berdasarkan prinsip moral universal atau ia menyebutnya global ethic yang menjadi dasar perumusan karakter-karakter yang akan dibangun.

Permasalahannya adalah –seperti yang sebutkan Ary Ginanjar Agustian - mengapa manusia dengan latar agama dan budaya yang boleh jadi kontradiktif  dapat menerima sejumlah prinsip tersebut. Dari manakah kesamaan itu muncul dan bersumber? Ary Ginanjar meskipun tidak secara eksplisit, tampaknya merujuk pada konsep kesatuan penciptaan ketika menawarkan jawaban bahwa kesamaan itu disebabkan karena semua adalah ciptaan Allah yang Maha Satu. Ia menyebutnya dengan anggukan universal.  Karena Allah Maha Adil, maka keadilan disukai dan diinginkan secara universal. Dalam konteks ini lah  Nama-Nama Terbaik Allah dapat menjadi pondasi global ethic yang dimaksud dalam pendidikan karakter.

Sebagai seorang absolutis, Shomali dalam disertasinya menyebutkan bahwa motivasi mendasar bermoral adalah cinta diri.  Moralitas berkaitan dengan pengenalan tentang kebutuhan diri, cita-cita ideal diri, dan jati diri sejati. Konsep cinta diri dapat dipandang sejalan dengan doktrin pengenalan diri dalam tasawuf. Doktrin ini merujuk pada hadits yang populer di kalangan sufi, barang siapa yang telah mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal diri-Nya Dalam hal ini, pengenalan diri dikombinasikan dengan teologi citra. Teologi citra mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam citra Tuhan (Immago Dei). Teologi ini merujuk pada hadits, Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam citra-Nya. Konsep  manusia citra Tuhan ini kemudian melahirkan teori Al-Insân Al-Kâmil, yaitu figuritas manusia paripurna yang merefleksikan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya.

Citra Tuhan –seperti yang ditafsirkan Al-Syibli- bukanlah esensi Tuhan, melainkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.  Dengan kata lain hadits Imago Dei dapat dimaknai bahwa Allah menciptakan Adam sejalan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Dari sini lah kemudian, konsep Imago Dei berkembang menjadi dasar pembentukan karakter para salik, murid sufi yang sedang menempuh perjalanan spiritualitas. Ada lah Abu Qâsim Al-Karkâni yang mengatakan, “Sesungguhnya Sembilan Sembilan puluh Sembilan Nama-Nama Tuhan ini harus menjadi sifat seorang murid yang menempuh perjalanan spiritual.” Tesis   Al-Karkâni ini telah memotivasi Al-Ghazali menulis kajian tentang Nama-Nama terbaik Allah dalam Al-Maqshad Al-Asnâ, sekaligus menjadikan karyanya distingtif dari karya-karya lain dalam tema serupa karena adanya ulasan cukup detail terhadap aspek takhalluq atau pengadopsian Nama-Nama Tuhan menjadi karakter manusia.

Pengalaman spirutual para sufi yang membawa implikasi kesucian akhlak merupakan pokok dalam pemikiran akhlak. Tidak keliru jika dikatakan bahwa filsafat akhlak dalam Islam tumbuh dalam naungan tasawuf dan terbentuk melalui usaha para sufi yang menempuh praktek kesufian dan kemudian menjadi contoh utama akhlak mulia yang merupakan misi kedatangan Islam. Dalam tataran praksis, para sufi dikenal memiliki sifat-sifat baik yang melampaui sekat-sekat agama dan budaya. Bukan hanya kepada manusia, atau sesama muslim saja, kebaikannya menyentuh orang berbeda agam, pelaku dosa, hewan dan tumbuhan. Performa sufi seperti ini sejalan dengan konsep global ethic Marvin Berkowitz. Dengan kalimat berbeda dapat ditegaskan, Asmâ Allâh Al-Husnâ dapat menjadi dasar pembentukan karakter transenden yang lintas agama dan budaya seperti telah ditunjukkan dalam tasawuf.

0 komentar:

 
Design by Fauzan Ihsan Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | Best Buy Printable Coupons