Pada artikel
sebelumnya, Blog Pendidikan Karakter telah menurunkan tulisan tentang
langkah-langkah penerapan pendidikan karakter. Di antara langkah tersebut
adalah merumuskan karakter yang akan dibangun kemudian mempromosikannya.
Perumusan
karakter ini perlu ditopang oleh landasan konseptual yang kokoh tentang
pembentukan karakter. Artikel ini menyuguhkan kepada Anda kajian tentang
bagaimana kedudukan spiritualitas dalam wacana pendidikan karakter yang kian
ramai dibicarakan.
Terdapat dua
madzhab dalam merumuskan dasar-dasar moral, yaitu madzhab absolutisme dan
relativisme. Perdebatan tentang dua madzhab ini misalnya dipetakan oleh Glynn
Phillips dalam Should Moral Educators
Abandon Moral Relativism?. Dalam tulisannya ini Phillips mencoba
mendiskusikan nilai-nilai moral manakah yang harus dijadikan rujukan pendidikan
karakter. Perdebatan Absolutisme dan Relativisme ini juga berkaitan
dengan pemikiran etika Al-Ghazali. M. Amin Abdullah dalam The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali
and Kant, mengkaji pemikiran Ghazali dan Kant perihal etika
rasional dan etika agama, apakah termasuk absolutisme atau relativisme.
Berkaitan dengan absolutisme etika yang mendukung pendidikan karakter dengan Asmâ Allâh Al-Husnâ seperti akan
dijelaskan kemudian, Al-Ghazali berpandangan bahwa absolutisme etika harus
dibangun dan bersumber dari etika-etika agama.
Secara umum
relativisme didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal
tertentu. Penganut paham ini berkeyakinan bahwa moralitas bersifat relatif
terhadap prinsip tertentu dan menolak bahwa prinsip itu mutlak benar atau
paling sahih. Relativisme etika berpandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang
benar secara universal. Kebenaran semua prinsip moral bersifat relatif terhadap
budaya atau pilihan individu. Pemikiran tentang dasar pembentukan moral
yang seperti ini menurut Marvin Berkowitz cenderung memberikan penolakan
terhadap penanaman dasar-dasar moralitas yang baik kepada pihak lain.
Shomali kemudian
membagi relativisme ini ke dalam dua, yaitu relativisme individual dan sosial.
Relativisme individual mengajukan teori bahwa setiap individu berhak menentukan
kaidah moralnya sendiri. Namun demikian karena pengalaman kultural yang sama, kaidah
moral kebanyakan individu pada suatu masyarakat pada praktiknya terlihat sama.
Sedangkan relativisme sosial berpandangan bahwa masyarakat berhak menentukan
norma-norma moralnya sendiri. Teorinya adalah kebenaran moral hanyalah
kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Berdasarkan teori ini,
moralitas dapat diartikan juga sebagai peristiwa yang secara sosial disetujui
masyarakat. Ini juga menyiratkan bahwa tidak ada kaidah moral yang berlaku
universal, sehingga apa yang secara moral di pandang baik dalam sebuah
masyarakat ditentukan oleh keyakinan masyarakat yang telah melembaga. Ada pun masyarakat lain
dengan corak kultural yang berbeda sangat mungkin menganut pandangan yang
berbeda tentang moralitas. Sebagai contoh, aborsi mungkin saja benar pada masyarkat
A dan salah pada masyarakat B.
Lawan dari
relativisme etika adalah absolutisme yang meyakini adanya kebenaran universal.
Paham ini menegaskan bahwa hanya ada satu kebenaran moral yang universal.
Karenanya paham ini disebut juga universalisme. Menurut Wong seperti
dikutip Shomali, absolutisme atau universalisme bukan hanya meyakini adanya
kebenaran mutlak yang universal, tetapi juga berpandangan bahwa kaidah atau
kewajiban moral benar-benar mengikat, tanpa kecuali. Cita-cita moral yang
benar harus mampu mencakup semua nilai dan ukuran moral yang lain dan
menempatknnya secara hierarki, sebab ia harus mampu menjelaskan tujuan atau
nilai yang dituju di atas setiap perbuatan. Dalam penelitiannya tentang
relativisme etika, Shomali menemukan fakta adanya prinsip-prinsip umum yang
diterima sebagian besar manusia, atau oleh seluruh masyarakat dengan peradaban
yang khas.
Absolutisme moral
menghendaki adanya sebuah sumber moral yang menjadi unsur evaluatif atau
normatif sebuah perilaku moral. Sumber moral ini pada akhirnya akan menjadi
kebaikan yang ideal atau yang tertinggi. Kebaikan ideal ini lah yang diusulkan
sebagai core values pembentukan
karakter, seperti kebahagiaan, ketulusan, saling mencintai,kerja sama,
keadilan, perdamaian dan harga diri. Marvin Berkowitz, seorang pakar
pendidikan karakter dari Amerika menginformasikan bahwa kebanyakan pendidikan
karakter dilaksanakan sejalan dengan pemikiran absolutisme ini.
Pendidikan karakter dilaksanakan berdasarkan prinsip moral universal atau
ia menyebutnya global ethic
yang menjadi dasar perumusan karakter-karakter yang akan dibangun.
Permasalahannya
adalah –seperti yang sebutkan Ary Ginanjar Agustian - mengapa manusia dengan
latar agama dan budaya yang boleh jadi kontradiktif dapat menerima
sejumlah prinsip tersebut. Dari manakah kesamaan itu muncul dan bersumber? Ary
Ginanjar meskipun tidak secara eksplisit, tampaknya merujuk pada konsep
kesatuan penciptaan ketika menawarkan jawaban bahwa kesamaan itu disebabkan
karena semua adalah ciptaan Allah yang Maha Satu. Ia menyebutnya dengan
anggukan universal. Karena Allah Maha Adil, maka keadilan disukai dan
diinginkan secara universal. Dalam konteks ini lah Nama-Nama Terbaik
Allah dapat menjadi pondasi global ethic
yang dimaksud dalam pendidikan karakter.
Sebagai seorang
absolutis, Shomali dalam disertasinya menyebutkan bahwa motivasi mendasar
bermoral adalah cinta diri. Moralitas berkaitan dengan pengenalan tentang
kebutuhan diri, cita-cita ideal diri, dan jati diri sejati. Konsep cinta diri
dapat dipandang sejalan dengan doktrin pengenalan diri dalam tasawuf. Doktrin
ini merujuk pada hadits yang populer di kalangan sufi, barang siapa yang telah mengenal dirinya, niscaya ia
akan mengenal diri-Nya Dalam hal ini, pengenalan diri
dikombinasikan dengan teologi citra. Teologi citra mengajarkan bahwa manusia
diciptakan dalam citra Tuhan (Immago Dei).
Teologi ini merujuk pada hadits, Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam dalam citra-Nya. Konsep manusia citra
Tuhan ini kemudian melahirkan teori Al-Insân
Al-Kâmil, yaitu figuritas manusia paripurna yang merefleksikan
sifat-sifat Tuhan dalam dirinya.
Citra Tuhan
–seperti yang ditafsirkan Al-Syibli- bukanlah esensi Tuhan, melainkan Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya. Dengan kata lain hadits Imago Dei dapat dimaknai bahwa Allah menciptakan Adam
sejalan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya. Dari sini lah kemudian, konsep Imago Dei berkembang menjadi dasar
pembentukan karakter para salik,
murid sufi yang sedang menempuh perjalanan spiritualitas. Ada lah Abu Qâsim Al-Karkâni yang mengatakan,
“Sesungguhnya Sembilan Sembilan puluh
Sembilan Nama-Nama Tuhan ini harus menjadi sifat seorang murid yang menempuh
perjalanan spiritual.” Tesis Al-Karkâni ini telah
memotivasi Al-Ghazali menulis kajian tentang Nama-Nama terbaik Allah dalam Al-Maqshad Al-Asnâ, sekaligus menjadikan
karyanya distingtif dari karya-karya lain dalam tema serupa karena adanya
ulasan cukup detail terhadap aspek takhalluq
atau pengadopsian Nama-Nama Tuhan menjadi karakter manusia.
Pengalaman
spirutual para sufi yang membawa implikasi kesucian akhlak merupakan pokok
dalam pemikiran akhlak. Tidak keliru jika dikatakan bahwa filsafat akhlak dalam
Islam tumbuh dalam naungan tasawuf dan terbentuk melalui usaha para sufi yang
menempuh praktek kesufian dan kemudian menjadi contoh utama akhlak mulia yang
merupakan misi kedatangan Islam. Dalam tataran praksis, para sufi dikenal
memiliki sifat-sifat baik yang melampaui sekat-sekat agama dan budaya. Bukan
hanya kepada manusia, atau sesama muslim saja, kebaikannya menyentuh orang
berbeda agam, pelaku dosa, hewan dan tumbuhan. Performa sufi seperti ini
sejalan dengan konsep global ethic
Marvin Berkowitz. Dengan kalimat berbeda dapat ditegaskan, Asmâ Allâh Al-Husnâ dapat menjadi dasar
pembentukan karakter transenden yang lintas agama dan budaya seperti telah
ditunjukkan dalam tasawuf.
0 komentar:
Posting Komentar